GUNADARMA

Rabu, 09 November 2011

Santai Berpakaian Adalah Kebebasan

Obrolan dengan seorang teman lewat linimasa mengingatkanku pada zaman kuliah.
Saat itu, sebagian dosen suka sinis padaku gara-gara berpakaianku. Ada yang suka nyentil-nyentil tapi ada pula yang sampai ngomong sangat jelas, “Kalau mau ikut kelas saya, tolong jangan pakai sandal ya.”
Aku paling sebal sama dosen semacam ini. Bagi mereka, mahasiswa itu harus rapi dengan kemeja, celana kain, dan sepatu. Maka, mahasiswa semacam aku dengan celana jins, kaos oblong, dan sandal gunung tak layak masuk kelasnya. Memuakkan!
Sebagian dosen ada yang saklek. Kaku. Dia benar-benar melarang mahasiswa bersandal ikut kuliahnya. Namun, sebagian dosen juga amat terbuka. Membiarkan saja mahasiswa tampil sesukanya selama masih dalam tahap wajar.
Tapi, obrolan dengan teman itu juga kembali mengingatkan, betapa dunia kampus yang seharusnya dinamis dan terbuka itu juga masih terkungkung pada pikiran sempit tentang cara orang berpakaian.
Ada sebagian fakultas yang mengharuskan mahasiswanya berpakaian benar-benar rapi jali. Tak boleh ada kaos oblong, celana jeans, dan sandal jepit. Mahasiswa harus berpakaian rapi dengan kemeja, celana kain, dan sepatu. Khusus cewek tak boleh pakai celana. Harus rok.
Alamak! Bagiku ini hal amat aneh. Mahasiswa itu tak lagi anak-anak, serupa TK, SD, atau SMA. Kalau zaman anak-anak ini sih boleh saja pakai seragam meski aku juga kurang setuju. Cuma, ini sudah mahasiswa, sudah pada biasa berpikir berbeda. Masak sih urusan pakaian juga mesti harus diatur-atur.
Tak hanya di kampus. Di banyak tempat dan pikiran orang lain pun begitu. Seolah-olah yang berpakaian rapi jali itu lebih baik atau bahkan lebih terhormat dibandingkan dengan mereka yang berpakaian santai.
Padahal jelas keliru. Bagiku, mereka yang bekerja dalam seragam menunjukkan keseragaman cara berpikirnya. Lihatlah PNS, tentara, anggota DPR. Tak ada pilihan lain bagi mereka selain ikut dan tunduk pada aturan.
Sebaliknya, bagi para pekerja dunia kreatif di mana pikiran serasa tanpa batas, maka pakaian santai ini justru mendukung kreativitas mereka. Setidaknya itu bagiku. Bawaannya malah tak nyaman dan tak percaya diri kalau pakai baju rapi jali.
Jadi, berikanlah kebebasan pada siapa saja, termasuk mahasiswa, untuk berpakaian sesuai keinginan mereka. Daripada tidak berpakaian sama sekali bukan? :)

Tradisi Toraja yang Masih Terjaga

Setiap perjalanan adalah waktu untuk belajar tentang tempat tujuan.
Begitu pula dengan perjalanan ke Tana Toraja, Sulawesi Selatan pekan lalu. Sembari liputan tentang kopi spesial ala Toraja, aku juga sekalian belajar tentang budaya dan tradisi Toraja. Selama ini informasi tentang Toraja lebih sering aku baca di majalah wisata, terutama Garuda Inflight Magazine.
Kali ini tak hanya baca. Aku bisa melihat dan berbincang langsung dengan orang-orangnya. Dan, memang lebih mudah belajar dan menguatkan ingatan lewat pembicaraan. Maka, ada beberapa hal tentang Toraja yang meski mungkin sudah pernah aku baca tapi kemudian aku baru benar-benar ngeh setelah datang dan berbincang sendiri dengan mereka.
Ada beberapa hal unik tentang tradisi dan budaya Toraja yang kemudian aku baru tahu, yaitu rumah tinggal, penguburan, dan sistem sosial.
Tongkonan
Hal paling identik dengan Toraja tentu rumah adat, biasa disebut Tongkonan. Rumah dengan atap menjulang serupa perahu atau tanduk kerbau ini, seperti umumnya rumah di Sulawesi Selatan, berupa rumah panggung.
Bentuk atap yang melengkung seperti kurva ini ternyata punya makna sendiri. Eveready Lolo, orang Toraja sekaligus teman selama di sana, bercerita bentuk itu untuk mengenang leluhur mereka dari Indochina. “Nenek moyang kami memang dari daratan Indochina,” kata Fready, panggilan akrabnya.
Aku cari informasi di internet tentang asal-usul orang Toraja sebagai keturunan Indochina ini. Tak ada satu pun yang aku temukan.
Namun, aku lihat-lihat, karakter wajah orang Toraja yang aku temui ini memang rada mirip dengan orang-orang China. Wajah agak mungil dengan mata sedikit sipit. Menurut Fready, asal usul orang Toraja sebagai orang dari Indochina ini dibenarkan hasil penelitian.
Meski demikian, sebagian orang Toraja yakin bahwa nenek moyang berasal dari langit. Ya, ini mitos lokal yang sepertinya juga ada di setiap tempat. Dan, ada benda fisik sebagai lambang proses turunnya leluhur orang Toraja ini. Lokasinya di perbatasan antara Enrekang dan Tana Toraja. Di sini ada batu yang dipercaya sebagai tempat turunnya leluhur orang Toraja.
Batu ini menjadi bagian dari mitologi tentang nenek moyang Toraja.
Balik ke Tongkonan. Dalam satu keluarga besar, rumah adat ini akan dilengkapi alang, istilah lokal untuk lumbung padi. Bentuknya sama persis dengan tongkonan namun ukurannya lebih kecil.
Satu tongkonan dilengkapi antara 4-6 alang ini. Posisi alang-alang ini berhadapan dengan tongkonan. Alang ini akan jadi tempat bagi pemimpin adat saat ada upacara kematian atau ritual lainnya. Biaya pembuatannya kira-kira Rp 40 juta hingga Rp 50 juta.
Penguburan
Kematian, bagi sebagian orang, memang serupa pesta perayaan. Bukannya ditangisi, upacara kematian justru jadi pesta besar dengan biaya super mahal. Ngaben di Bali, penguburan di Sumba, dan di banyak tempat lainnya membuktikan itu. Begitu pula di Toraja.
Orang yang sudah meninggal tak akan langsung dikubur tapi disimpan dulu di tongkonan. Lamanya bisa sampai puluhan tahun. Menurut Ditha Tandipali, warga Dusun Garuga, Desa Sesean Matalio mayat ini diawetkan dengan berbagai ramuan tradisional, seperti cuka, teh, sabun mandi, dan semacamnya.
Dengan demikian, mayat tersebut tidak akan berbau busuk meskipun disimpan di salah satu kamar di rumah.
Lamanya penguburan ini selain menunggu datangnya keluarga besar, seperi anak, saudara, atau keponakan juga karena besarnya biaya yang digunakan. Biaya penguburan ini mencapai puluhan atau bahkan ratusan juta. Malah, ada pula yang sampai semilyar.
Mahalnya biaya upacara ini karena keperluan upacara memang banyak. Salah satunya adalah kerbau yang dipersembahkan. Ada jenis kerbau tertentu yang harganya super mahal. Fready menceritakan, semakin banyak belangnya seekora kerbau, maka dia akan semakin mahal. Bisa sampai ratusan juta per ekor!
Karena itu, menurut tradisi Toraja, kerbau berperan amat penting. Karena ini, kerbau ada di mana-mana. Sejak baru masuk Toraja, Rantepao, hingga menyusuri pedalamannya, aku tak pernah menemui sapi sama sekali. Hanya kerbau di mana-mana selain babi hitam sekali-kali di jalan.
Penguburan ini dilakukan pada batu bernama liang. Ada ceruk atau goa buatan di batu besar ini. Biaya pembuatannya bisa sampai Rp 50an juta untuk ukuran 2 x 3 meter. Selain batu, saat ini juga sudah ada yang membuat liang dari beton. Katanya lebih praktis dan murah.
Liang ini akan terkumpul pada satu keluarga besar. Jadi, dalam satu liang ini pasti hanya dari satu klan atau keturunan. Orang dari keluarga lain tak boleh.
Kasta
Hal lain yang baru aku tahu dari Toraja adalah tentang masih hidupnya sistem kasta. Semula aku pikir peringkat kedudukan dalam adat ini hanya ada di Bali. Ternyata, di Toraja juga ada.
Kasta ini terbagi empat tingkat. Sebagian sih ada juga lima meskipun makin jarang. Dari paling tinggi ke paling rendah, empat kasta tersebut adalah Tanak Bulan, Tanak Basi, Tanak Karurung, dan Tanak Kokoa.
Empat kasta ini berlaku hanya pada saat upacara adat. Kasta tertinggi yang harus memimpin upacara. Tempatnya juga terhormat. Namun, dalam hidup sehari-hari, kata Dittha, sudah tak berlaku.
“Dalam pergaulan sehari-hari sih siapa yang lebih kaya dia yang lebih dihormati, bukan yang berkasta tinggi,” kata Fready. Ya, kalau soal ini sah tak hanya di Toraja tapi juga di Bali, Jawa, dan penjuru dunia lainnya. Uang yang sekarang jadi simbol kehormatan baru. :)